Prasejarah
Tom Goodman bersama tim ekspedisi Duyikan dari Universitas
Hawaii adalah salah satu dari beberapa ilmuwan asing yang meneliti gua kuno
Ohoidertavun yang berada pada ketinggian sekitar 15 meter dari permukaan laut
di Kei Kecil. Di sekitar gua kuno ini ditemukan dinding batu sepanjang 200
meter yang terukir apik dengan beragam gambar dan lukisan/tulisan kuno. Lukisan
kuno yang terpajang di dinding goa Ohoidertavun menggambarkan beragam kehidupan
masyarakat di masa lampau dalam kaitannya dengan alam sekitarnya seperti
matahari, bulan, dan bintang, serta perahu sebagai sarana transportasi,
kehidupan fauna dan flora, bahkan lukisan topeng. Pada situs tersebut juga
tergambar lukisan mengenai seni tari gembira sebagai ungkapan syukur yang lebih
terfokus pada kehidupan religius. Lukisan di dinding goa Ohoidertavun
mengekspresikan tingginya kebudayaan bangsa Indonesia pada ribuan tahun silam
yang memiliki spesifikasi yang serupa dengan karya lukisan masyarakat asli
Papua dan Australia. Adanya kemiripan sejarah dan budaya ini mengundang
perhatian khusus Direktur/Produser Film dari Australia, Marcus Gillezeau untuk
mengabdikannya dalam film dokumenter untuk disebarluaskan ke seluruh dunia guna
mengundang semakin banyak ilmuwan, wisatawan, dan petualang berkunjung ke daerah
rempah-rempah ini, yang pernah kesohor di masa lalu.
Apa yang ditemukan di goa Ohoidertavun merupakan sesuatu
yang tergolong langka, unik, dan luar biasa menarik untuk diteliti dan dikaji,
ungkap Marcus. Karenanya perlu diangkat ke permukaan untuk dipromosikan karena
lukisan tangan para leluhur yang tergolong langka di tebing batu setinggi 24
meter itu secara antropologi mengisyaratkan adanya semacam kesamaan hubungan
keturunan antara suku asli Kepulauan Kei dengan penduduk asli Australia.
Sejarah lisan
Penduduk Kepulauan Kei hampir tidak memiliki catatan sejarah
tertulis. Sebaliknya mereka memiliki Tom-Tad, yakni hikayat-hikayat lisan yang
disertai dengan benda-benda warisan tertentu sebagai penjamin keontentikan
hikayat itu. Sebagian besar hikayat ini dibumbui dongeng atau lambang-lambang,
akan tetapi dianggap sepenuhnya benar secara harafiah oleh pribumi kepulauan
ini pada umumnya.
Menurut hikayat setempat, leluhur orang Kei berasal dari Bal
(Bali), wilayah kerajaan Majapahit di kawasan Barat Nusantara. Konon dua perahu
utama berlayar dari pulau Bali, masing-masing dinahkodai oleh Hala'ai Deu dan
Hala'ai Jangra. Setibanya di kepulauan Kei, dua perahu ini berpisah. Perahu
rombongan Jangra menepi di Desa Ler-Ohoylim, pulau Kei Besar, dan perahu rombongan
Deu berlabuh untuk pertama kalinya di Desa Letvuan, Pulau Kei Kecil.
Letvuan dijadikan pusat pemerintahan, tempat dikembangkannya
hukum adat Larvul Ngabal (Darah merah dan tombak Bali) atas gagasan Putri Dit
Sakmas. Bukti hubungan dengan Bali ini di Kei kecil mencakup beberapa benda
warisan dan sebuah tempat berlabuh yang dinamakan Bal Sorbay (Bali-Surabaya),
yakni tempat perahu keluarga kerajaan itu dulu berlabuh.
Hala'ai Jangra dan Hala'ai Deu adalah gelar, bukan nama
diri. Nama asli mereka tidak lagi diketahui. Sebagian pemuka adat Kei
mengatakan bahwa nama asli Hala'ai Deu adalah Esdeu, ada yang mengatakan
Kasdeu, ada pula yang berpendapat bahwa nama sebenarnya adalah Sadeu, atau
Sadewa, atau pun Dewa.
Selain Bali, orang Kei yakin bahwa negeri-negeri asal
leluhur mereka mencakup Sumbau (Pulau Sumbawa), Vutun (Buton), Seran Ngoran
(Pulau Seram dan Gorom di Maluku Tengah), serta Dalo Ternat (Jailolo dan
Ternate).
Zaman modern
Pulau kecil Tanimbar-Kei bukanlah bagian dari Kepulauan
Tanimbar, melainkan bagian dari Kepulauan Kai dan berpenghuni kurang dari 1000
jiwa, warganya sangat tradisional. Setengah dari populasi pulau ini mengaku
beragama Hindu, namun kenyataannya mereka mempraktekkan pemujaan leluhur, yakni
sistem religi asli Kepulauan Kai.
Pada tahun 1999 pecah kerusuhan antara warga Muslim dan
Kristiani di Kota Ambon yang kemudian merambat pula ke Kepulauan Kai, akan
tetapi dengan cepat mereda serta tidak banyak menelan korban jiwa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar